Oleh : Fakih
Abdul Azis
Maroko adalah
kerajaan yang memiliki beragam suku dan budaya. Tercatat ada berbagai kabilah
yang berasal dari Arab, Amazigh , dan keturunan Yahudi. Keberagaman yang
ada dipersatukan lewat perjuangan bersama yaitu melawan penjajahan Spanyol dan Prancis.
Dalam sejarahnya, tidak ada perseteruan antara suku Yahudi Maroko dan Arab Islam. Justru mereka
saling bahu-membahu dalam membangun dan memerdekakan diri dari penjajahan.
Mengapa demikian ? karena mereka merasa Maroko adalah tumpah darah dan tanah
airnya. Sehingga bila ada orang asing yang datang dengan tujuan untuk
menguasai, mereka berjuang bersama demi mengusir penjajah. Spanyol contoh
pertama, pernah menjajah kota Essouira, Tanger dan Tetouan tapi tidak bertahan
lama. Prancis sebagai negara terakhir, pernah menguasai Casablanca, Rabat dan
Fez tapi hanya bertahan 35 tahun. Semua itu berkat persatuan.
Interaksi
antara suku Arab Islam dan Yahudi Maroko bukan hal yang baru. Yahudi datang ke Maroko
sejak abad ke 9 sebelum masehi. Mereka pindah atas kerjasama dagang antara raja
Nabi Sulaiman ( 960-922 SM ) dengan suku Finiqi penduduk asli[1]. Salah satu isi dari perjanjian kerjasama
tersebut adalah mengirim para budak-budak. Maka diutuslah para budak Yahudi
untuk menetap disana. Ditambah dengan peristiwa Kerajaan Yudea yang dihancurkan
oleh raja Nebukadnezar II dari Babilonia pada abad tahun 606 SM membuat
keturunan Yahudi semakin banyak yang hijrah dan menetap di Maroko [2].
Setelah
beberapa abad kemudian, Islam baru datang ke Maroko. Tepatnya pada saat Uqbah
bin Nafi’ pada tahun 647M ke kota Tanger dengan membawa pasukan kurang lebih
15.000 pasukan. Dari mereka, generasi Islam muncul dan berkembang pesat ke
seluruh penjuru Magrib Arabi. Dari mulai daerah Tanger sampai ke selatan
kawasan Souss-Massa. Berkat dakwahnya yang toleran, berbondong-bondonglah suku
Amazigh atau Barbar untuk masuk Islam. Salah satunya nanti menjadi pahlawan Islam
yang membebaskan Spanyol Thariq bin Ziyad[3].
HUBUNGAN ANTAR
AGAMA DI MAROKO
Saat kedatangan
Islam, orang Yahudi Maroko tidak menganggapnya sebagai penjajah. Mereka justru
senang karena telah membebaskannya dari penjajahan imperium Romawi. Mereka
hidup berdampingan dengan damai, aman dan sejahtera dengan orang Islam. Hal
tersebut terbukti dengan masuknya mereka dalam pemerintahan, terutama hal yang
berkaitan dengan urusan perdagangan[4]. Bahkan ada
yang menjadi dokter pribadi raja Yusuf bin Tasyfin. Pada masanya, beliau
mengangkat dua dokter dari kalangan Yahudi[5].
Ada suatu
cerita menarik yang beredar di kalangan orang Maroko tentang hubungan raja Ali bin Yusuf (1083-1143M) dinasti al-Murabithun
dengan komunitas Yahudi. Pada masa pemerintahannya, beliau ingin memperluas masjid dan universitas al-Qarawiyyin.
Kebetulan, tanah samping masjid adalah milik seorang Yahudi. Sang Raja, dengan
segala kekuasaannya tidak mau menggunakan paksaan dengan militer atau surat
perintahnya. Justru beliau menawar dan mendatanginya sendiri dengan harga tanah
yang melebihi standart kala itu[6]. Dari tanah ini
, perluasannya bisa terealisasi yang kemudian menjadi tempat imam masjid
al-Qarawiyyin sekarang.
Dalam setiap
tahunnya , orang Yahudi Maroko wajib membayar Jizyah atau pajak yang
harus diberikan kepada kerajaan . Akan tetapi , mereka
juga tidak keberatan karena salah satu kebijakan dari raja adalah membantu
membangun sinagog yang hancur[7]. Sehingga,
mereka menerima bahwa pajak yang dibayarkan telah kembali lagi untuk
kemaslahatan dirinya sendiri.
Selain itu, ada
banyak sekali hak-hak hukum yang mereka dapatkan dari kerajaan seperti berikut
:
1.
Hak
keamanan dalam penjagaan rumah , harta benda dan tempat ibadahnya. Dalam artian
tidak boleh ada yang mengganggu apalagi memusuhinya.
2.
Hak individual
dan sosial khusus seperti jika mereka berada dalam suatu daerah yang mana
mereka seorang diri atau satu keluarga , mereka berhak untuk mendirikan tempat
ibadah sinagog.
3.
Hak keperdataan
khusus. Mereka mempunyai kebebasan dalam menjalankan hukum yang berlaku antara
mereka sesuai yang tertera dalam kitab Taurat[8]. Seperti hak
marital, hak orang tua (ouderlijke macht) , hak perwalian (voogdij). Hal ini
berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Quran :
وَكَيْفَ
يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ
مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
( المائدة : 43 )
Artinya : Dan bagaimanakah mereka
mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang
didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari
putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman[9].
Secara konstitusi modern, keberadaan mereka tidak diakui sebagai
agama resmi negara. Kerajaan Maroko telah mendeklarasikan menjadi negara yang
berdaulat dengan Islam sebagai agama negara[10]. Namun,
negara tetap menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, berkumpul dan kebebasan
dalam hal kepercayaan kepada masyarakatnya [11]. Sehingga
, hak-hak mereka para Yahudi Maroko tetap terjamin secara undang-undang.
Dalam perkembangannya,
Yahudi Maroko mengalami pasang surut dalam demografinya. Pada tahun 1947 M data
kependudukan mencatat penduduk Yahudi Maroko
ada sekitar 204.000 jiwa [12].
Kemudian setelah ada ajakan untuk kembali ke tanah Palestina mereka
berangsur-angsur hijrah kembali ke “Tanah yang dijanjikan” . Hal tersebut berkat
dukungan materi dari penjajah Prancis untuk kembali ke Jerussalem [13]. Secara
pelan tapi pasti, mereka mulai meninggalkan Maroko secara berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Maroko merdeka dari penjajahan, raja Muhammad V
mencegah mereka hijrah kembali ke palestina. Dengan mengatakan pada pidato resmi
kerajaan pertama bahwa “Yahudi Maroko mendapatkan kewajiban dan hak yang sama
seperti penduduk Maroko lainnya” [14]. Selain
itu beliau juga mengangkat Léon Benzaken ( seorang Yahudi ) menjadi menteri kerajaan[15]. Langkah
ini terbukti dapat membawa hasil , sehingga terjadilah perjanjian “ pemberhentian
hijrah “ antara pihak pertama Amerika, Prancis, dan Israel dan pihak kedua kerajaan
Maroko pada tahun 1961 M[16].
Selain Léon
Benzaken , ada nama Serge Berdugo ( menteri pariwisata 1993-1996 M ), Simon
Levy ( politisi partai Al-Ittihad Al-Dusturi ) dan André Azoulay ( penasehat
kerajaan 1990 M - sekarang ). Disinilah yang menarik, secara konstitusi
Kerajaan Maroko memberikan gelar kepada rajanya Muhammad VI dengan Amirul
Mukminin Wa Hami Hima Al-Millah wa Al-din[17].
Akan tetapi justru mempunyai Musytasyar atau penasehat dari kalangan
minoritas Yahudi.
Dalam hal ini,
saya kira moderasi yang dikembangkan oleh raja Maroko bukan lagi sekedar
memaknai ajaran yang terkandung dalam kitab suci. Namun , sudah pada tahap
aktualisasi nilai-nilai moderasi yaitu kolaborasi bersama dengan pemeluk agama lain
dalam rangka menghubungkan antara unsur yang berbeda sekaligus mencari titik temunya.
Baik dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Tujuannya
apa ? demi menjawab tantangan dunia dengan cara baru sekaligus jawaban baru
dalam mengatasi berbagai permasalahan bersama baik yang terjadi sekarang maupun
yang akan datang.
DIPLOMASI KEAGAMAAN MAROKO
Salah satu
permasalahan bersama yang dialami dunia Islam sekarang adalah radikalisme dan
terorisme yang mengatas-namakan agama. Maroko, pernah mengalami serangan teror
terbesar dalam sejarahnya. Serangan bunuh diri dari kelompok “Salafi Jihadi”
terjadi pada tahun 2003 di Casablanca. Ada sekitar 41 orang tewas terbunuh dan
100 orang lainnya mengalami luka-luka [18].
Selain itu, pelaku-pelaku teroris yang melakukan aksinya di benua
Afrika dan Eropa kebanyakan juga berasal dari Maroko. Apalagi tercatat ada sekitar
2000-an orang Maroko bergabung ke dalam ISIS. Hal ini membuat Mbarka Bouaida ( menteri
luar negeri Maroko ) mengeluarkan sebuah kebijakan. Yaitu dengan sebuah pernyataan
bahwa negaranya akan memulai merestrukturisasi dengan meluncurkan program “ Ta’hil
Al-Haql Al-Dini “. Sebuah program deradekalisasi agama yang membawa visi-misi
untuk mengurangi radikalisme dan terorisme dunia. Pembaharuan dalam ruang
religius ini dimulai dengan mengatur
ulang semua anggota dewan Majlis Ilmi A’la , merevisi kurikulum
pendidikan madrasah, membuat channel tv nasional tentang keagamaan bernama “
Assadisa “ dan mendirikan Institut pelatihan Imam-imam[19].
Khusus untuk Institut
pelatihan para imam mempunyai sebuah tujuan yang mulia. Yaitu untuk menyebarkan paham Islam
moderat ke wilayah-wilayah Afrika sekaligus sebagai bentuk memerangi terorisme.
Raja Muhammad VI meresmikan Institut ini dengan nama “Ma’had Muhammad
Al-Sadis Li Takwin Al-Aimmah Wa Al-Mursyidin wa
Al-Mursyidaat “ pada 27 Maret 2015 di Rabat[20].
Lembaga pelatihan imam ini tidak hanya dikhususkan kepada para Imam
penduduk asli Maroko, tapi meluas dengan tambahan delegasi para imam dari berbagai
negara. Seperti dari kawasan Afrika barat, Eropa bahkan Cina. Harapannya, dengan
bergabungnya para imam dari berbagai negara ini nantinya bisa membawa
nilai-nilai Islam moderat yang digunakan Maroko. Untuk diajarkan kembali ketika
balik ke negara asalnya[21].
Tercatat pertama kali delegasi imam selain Maroko adalah dari
negara Mali. Saat itu, presiden Mali yang meminta secara khusus kepada raja
Muhammad VI untuk mendidik para imamnya belajar mazhab Maliki. Setelah
berhasil, banyak sekali permintaan dari negara tetangga untuk mengikuti
pelatihan imam ini seperti Tunisia, Pantai Gading, Prancis, Senegal dan
lain-lain[22].
Durasi pembelajaran yang wajib diikuti oleh para Imam tersebut juga
berbeda-beda tergantung darimana mereka berasal. Untuk orang Maroko masa
belajarnya satu tahun, negara-negara afrika selama dua tahun, dan dari prancis
selama tiga tahun. Perbedaan ini dengan harapan bahwa tahun ketiga untuk kursus
belajar bahasa arab saja. Sehingga , mereka pulang sudah mahir berbicara dan
membaca kitab yang berbahasa arab [23].
Langkah kebijakan untuk membangun Institut ini terbilang berani,
sebab biaya pembangunan lembaga pelatihan mencapai 20 juta dolar dengan
berbanding GDP Maroko tahun 2015 yang hanya 101,08 juta dollar USD[24]. Namun,
hal itu juga terbayarkan mengingat tujuan daripada institut ini adalah demi menjunjung
nilai-nilai Islam moderat. Disisi lain berfungsi juga untuk mengkaunter penyebaran
nilai-nilai Islam wahabi [25]. Sebuah
wacana Islam yang menjadi salah satu inspirasi para kelompok-kelompok ekstremis
di kawasan Timur Tengah.
Selain menyebarkan
pandangan Islam moderat dan perdamaian, pendirian Institut mohammad VI ini juga
bertujuan sebagai berikut :
1.
Memberikan
kesempatan para akademisi Maroko untuk masuk dalam penerimaan Imam, Khatib dan
Penceramah yang moderat dalam rangka melindungi Maroko dari radikalisme.
Maroko , merupakan kerajaan yang mempunyai kebijakan khusus
mengenai posisi imam, khatib dan penceramah.
Tidak semua orang hanya berbekal ketenaran, kemasyhuran dalam masyarakat atau
viewers youtube bisa langsung memberikan pengetahuan agama di depan umum.
Semuanya harus melalui standarisasi yang ditetapkan oleh kerajaan seperti harus
hafal Al-Quran, Hadits dll. Proses standarisasi tersebut
melalui penerimaan pegawai negara. Sehingga bisa dipastikan semua Imam, khatib
dan penceramah digaji kerajaan.
2.
Menjaga
keberlangsungan Islam Sunni madzhab Maliki menghadapi penyebaran Islam Wahabi
di dunia[26].
3.
Membiasakan
untuk melestarikan identitas spiritual yang menghargai perbedaan, keterbukaan dan toleransi dalam beragama
dalam masyarakat[27].
4.
Menambahkan
keterampilan tambahan seperti ilmu menjahit,ilmu listrik, komputer dan ilmu mengajar.
Sehingga dengan keterampilang tambahan ini diharapkan bisa untuk menularkan
keilmuannya dan mencetak imam-imam baru di negaranya.
5.
Menurut
Dr. Muhammad al- Az’ar (Direktur
Institut pelatihan imam) peran dari institut ini adalah untuk memberikan
pemahaman yang utuh. Terutama yang berkaitan tentang penafsiran yang sering
digunakan oleh para teroris untuk membenarkan konsep-konsep yang mereka. Seperti
bai’at, syura (demokrasi) , salafi , dan jihad yang mana konsep tersebut telah
banyak disalahfahami.
Demi mencapai tujuan diatas, Institut pelatihan imam ini juga
memiliki cara yang dijabarkan dalam “Dzahir Syarif” atau ketetapan raja
No. 1-14-103 ( 20 Rajab 1435 / 20 Mei 2014) yang berbunyi :
1.
Pelatihan
dasar ke-Imam-an bagi para imam, penceramah laki-laki dan perempuan dalam
rangka mempersiapkan mereka untuk siap dengan beban yang akan diterima.
3.
Pelaksanaan
kursus lanjutan sesuai spesialisasi para imam.
4.
Pelaksanaan
seminar, konferensi, dan kursus-kursus untuk meningkatkan mutu keahlian dan
keterampilan para imam, penceramah laki-laki dan perempuan.
5.
Pengembangan
penelitian yang bertujuan untuk menambah wawasan yang tepat sasaran bagi para
imam , penceramah laki-laki dan perempuan.
6.
Membangun
hubungan kemitraan dan kerjasama dengan yayasan, lembaga, badan nasional dan
Internasional yang mempunyai tujuan bersama.
7.
Pemaparan
konsultasi dalam bidang yang menjadi keahlian ,sesuai permintaan pertanyaan.
8.
Publikasi
hasil studi dan riset yang sesuai dengan bidang yang diminati imam[28].
Dari delapan penjabaran diatas, dua diantaranya merupakan kerangka
diplomasi keagamaan yang dilakukan oleh Maroko ke kawasan Afrika barat secara
khusus atau dunia secara umum melalui pendirian “Ma’had Muhammad Al-Sadis Li
Takwin Al-Aimmah Wa Al-Mursyidin wa Al-Mursyidaat “.
Dua misi tersebut adalah : pertama dengan melatih, mempersiapkan, dan
menyempurnakan nilai-nilai agama moderat dengan pendidikan berkelanjutan bagi
delegasi asing. Dan yang kedua, membangun hubungan kemitraan dan kerjasama
dengan yayasan, lembaga, badan nasional dan Internasional yang mempunyai tujuan
bersama[29].
KESIMPULAN
Berangkat dari beberapa pernyataan diatas, setidaknya Maroko ingin
memulai penyebaran nilai Islam moderat dengan argumen bahwa memahami umat agama
lain sebagai makhluk Tuhan yang harus dilindungi. Keragaman adalah sunnatullah.
Dalam aturan hukum fiqh klasik juga menyebut bahwa orang Yahudi yang berada
dalam kekuasaan muslim sebagai Ahl al-dzimmah, yaitu warga negara yang
wajib dilindungi.
Hal ini sejalan dengan pandangan Al-Quran, bahwa keragaman adalah
fakta yang tidak bisa terhindarkan, karena itu tidak ada pilihan lain kecuali “
menghargai” dan melindungi”. Bahkan, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
menyebutkan, “ Barang siapa yang menyakiti ahl Al-dzimmah ( nonmuslim) ,
maka sesungguhnya ia telah menyakiti saya”. Di Madinah, rasulullah SAW juga
menyebutkan bahwa Yahudi sebagai satu ummat dengan orang-orang muslim (
ummatun wahidah )[30].
Kedua, kalangan muslim moderat harus selalu menolak kekerasan yang
mengatasnamakan agama dan mengutamakan perdamaian[31]. Sebab,
kalau orang muslim ingin memulai membaca Al-Quran, pertama-pertama akan dibaca
adalah Bismillahirrahmanirrahim ( Dengan menyebut Allah tuhan Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang). Ini artinya, Islam
adalah agama kasih sayang dan jauh dari ajaran kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Al-Karim riwayat Hafs
Abdul Fattah ,Said.
Buhuts wa Dirosaat fi Tarikh Al-‘Ushur Al-Wustha , Universitas Beirut,
1977
Abdul Hakim , Abou
Al-Louz. Les nouvelles orientations de la politique religieuse au Maroc Jurnal
Insaniyyat 31 , 2016
Abdul Mun’im ,Hamid.
Al-Tarikh Al-Siyasi wa Al’Hadhari li Al-Magrib wa Al-Andalus fi ‘Asri
Al-Murabithin , Cairo : Dar Al-Ma’rifah , 1997
Al-Marrakusyi ,Abdul
Wahid. Watsaiq Al-Murabithin wa Al-Muwahhidin , Cairo : Maktabah
Al-Tsaqafah Al-Diniyyah , 1997
Bin Thahir, Abdullah.
Mudawwanah Al-Usrah fi Itar Al-Mazhab Al-Maliki, Aljadidah : Percetakan
Al-Najah cet 2, 2014
Bouaziz, Karima.
Daur Al-Yahud di Al- Nasyath Al-Iqtishadi fi Al-Magrib Al-Islami, Guelma
: Thesis Universitas 08 Mei 1945 , 2018
Cazes-Bénatar,
Hélène. The
American Jewish Year Book American
Jewish Committee; Springer Vol. 56 1955
Cédric Baylocq ,
Aziz Hlaoua. Les nouvelles ambitions de la diplomatie religieuse africaine
du Maroc, Afrique contemporaine 2016 (n° 257)
Masyru’ Naja’at
Al-ada ( Proyek Efisiensi Kerja) ,
Kementerian Wakaf Kerajaan Maroko 2019
Misrawi, Zuhairi.
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan,
Penerbit Kompas 2011 ,Hal 326
Sehhat Haikal ,Ahmad.
Yahud Al-Magrib ; Tarikhuhum wa ‘Alaqatuhum bi Al-Harakah Al-Shahyuniah
, Cairo :Markaz Al-Dirasat Al-Syarqiah , 2007
Udzari ,Ibnu. Al-Bayan
Mughrib fi Ikhtishari Akhbari Muluk Al-Andalus wa Al-Maghrib , Beirut : Dar
Tsaqafah 1983
Undang-Undang
Dasar Kerajaan Maroko, Cetakan 2011
https://www.albayan.ae/one-world/2003-05-18-1.1244183
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?end=2018&locations=MA&start=2009
https://www.diwanalarab.com/spip.php?page=article&id_article=5702
https://www.hespress.com/societe/259237.html
https://www.hespress.com/societe/354158.html
https://www.maghress.com/almassae/7564
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Keterangan : Kunjungan KH. Mukhlis Hanafi dan Ulama Dunia ke
Institut Pelatihan Imam – Rabat

Keterangan : Diskusi Penulis ketika mengantar rombongan POSFI
KEMENAG RI 2016 ke Institut Pelatihan Imam

Keterangan : Penulis dan dosen POSFI foto bersama didepan Institut
Pelatihan Imam
[1] Ahmad Sehhat
Haikal , Yahud Al-Magrib ; Tarikhuhum wa ‘Alaqatuhum bi Al-Harakah
Al-Shahyuniah , (Cairo : Markaz Al-Dirasat Al-Syarqiah , 2007 ), Hal 12
[2] Ibid, Hal. 12
[3] Ibnu ‘Udzari ,
Al-Bayan Mughrib fi Ikhtishari Akhbari Muluk Al-Andalus wa Al-Maghrib , (Beirut
: Dar Tsaqafah, 1983) Juz 2 Hal. 26-29
[4] Said Abdul
Fattah , ‘Asyur, Buhuts wa Dirosaat fi Tarikh Al-‘Ushur Al-Wustha ( Beirut
: Universitas Beirut, 1977 ), Hal. 90
[5] Abdul Wahid
Al-Marrakusyi , Watsaiq Al-Murabithin wa Al-Muwahhidin (Cairo : Maktabah
Al-Tsaqafah Al-Diniyyah , 1997 ) Hal
25-38
[6] Hamdi Abdul
Mun’im , Al-Tarikh Al-Siyasi wa Al’Hadhari li Al-Magrib wa Al-Andalus fi
‘Asri Al-Murabithin ,( Cairo : Dar Al-Ma’rifah , 1997 ) Hal. 338
[7] Karima
Bouaziz, Daur Al-Yahud di Al- Nasyath Al-Iqtishadi fi Al-Magrib Al-Islami,
(Guelma – Aljazair : Thesis Universitas 08 Mei 1945 , 2018 ) , Hal. 10
[8] Abdullah bin
Thahir, Mudawwanah Al-Usrah fi Itar Al-Mazhab Al-Maliki,( Aljadidah :
Percetakan Al-Najah 2014 ) cet 2, Hal. 28
[9] QS Al-Maidah
ayat 43
[10] Undang-Undang
Dasar Kerajaan Maroko, Cetakan 2011, Hal. 2
[11] Pasal 3 UUD
Kerajaan Maroko.
[12] Hélène
Cazes-Bénatar, The American Jewish Year Book (1955 : American Jewish
Committee; Springer Vol. 56 ), Hal 446
[13] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Lihat https://www.diwanalarab.com/spip.php?page=article&id_article=5702 ( Diakses
tanggal 17 Februari 2019 )
[17] Kepala negara
orang Islam serta pelindung berbagai kepercayaan dan agama, selengkapnya lihat Pasal
41 UUD Kerajaan Maroko.
[19] Abdul Hakim
Abou Al-Louz, Les nouvelles orientations de la politique religieuse au Maroc
, (2016 : Jurnal Insaniyyat 31 ),Hal 1-2 Selengkapnya Lihat https://journals.openedition.org/insaniyat/9766. Diakses 18 Februari 2019 )
[21] Cédric Baylocq
and Aziz Hlaoua, Les nouvelles ambitions de la diplomatie religieuse
africaine du Maroc, (2016 : Afrique contemporaine n° 257 ), Hal. 113
[23] Ibid.,
[24] Lihat https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?end=2018&locations=MA&start=2009 ( Diakses
tanggal 21 Februari 2020 )
[25] Cédric Baylocq
and Aziz Hlaoua, Les nouvelles ambitions de la diplomatie religieuse
africaine du Maroc, (2016 : Afrique contemporaine n° 257), Hal. 113
[26] Ibid., Hal 114
[27] Masyru’
Naja’at Al-ada ( Proyek Efisiensi Kerja) , Kementerian Wakaf Kerajaan Maroko
2019, Selengkapnya lihat http://lof.finances.gov.ma/sites/default/files/pdp_habous_et_affaires_Islamiques_ar.pdf ( Diakses
tanggal 18 Februari 2019 )
[28] Ibid., Hal. 64
[29] Ibid.,
[30] Zuhairi
Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan,
Penerbit Kompas 2011 ,Hal 326
[31] Ibid., Hal 327