Labels

Sunday 12 April 2020

TAWARAN MODERASI DARI MAROKO



Oleh : Fakih Abdul Azis
Maroko adalah kerajaan yang memiliki beragam suku dan budaya. Tercatat ada berbagai kabilah yang berasal dari Arab, Amazigh , dan keturunan Yahudi. Keberagaman yang ada dipersatukan lewat perjuangan bersama yaitu melawan penjajahan Spanyol dan Prancis. Dalam sejarahnya, tidak ada perseteruan antara suku  Yahudi Maroko dan Arab Islam. Justru mereka saling bahu-membahu dalam membangun dan memerdekakan diri dari penjajahan. Mengapa demikian ? karena mereka merasa Maroko adalah tumpah darah dan tanah airnya. Sehingga bila ada orang asing yang datang dengan tujuan untuk menguasai, mereka berjuang bersama demi mengusir penjajah. Spanyol contoh pertama, pernah menjajah kota Essouira, Tanger dan Tetouan tapi tidak bertahan lama. Prancis sebagai negara terakhir, pernah menguasai Casablanca, Rabat dan Fez tapi hanya bertahan 35 tahun. Semua itu berkat persatuan.

Interaksi antara suku Arab Islam dan Yahudi Maroko bukan hal yang baru. Yahudi datang ke Maroko sejak abad ke 9 sebelum masehi. Mereka pindah atas kerjasama dagang antara raja Nabi Sulaiman ( 960-922 SM ) dengan suku Finiqi penduduk asli[1].  Salah satu isi dari perjanjian kerjasama tersebut adalah mengirim para budak-budak. Maka diutuslah para budak Yahudi untuk menetap disana. Ditambah dengan peristiwa Kerajaan Yudea yang dihancurkan oleh raja Nebukadnezar II dari Babilonia pada abad tahun 606 SM membuat keturunan Yahudi semakin banyak yang hijrah dan menetap di Maroko [2].

Setelah beberapa abad kemudian, Islam baru datang ke Maroko. Tepatnya pada saat Uqbah bin Nafi’ pada tahun 647M ke kota Tanger dengan membawa pasukan kurang lebih 15.000 pasukan. Dari mereka, generasi Islam muncul dan berkembang pesat ke seluruh penjuru Magrib Arabi. Dari mulai daerah Tanger sampai ke selatan kawasan Souss-Massa. Berkat dakwahnya yang toleran, berbondong-bondonglah suku Amazigh atau Barbar untuk masuk Islam. Salah satunya nanti menjadi pahlawan Islam yang membebaskan Spanyol Thariq bin Ziyad[3].



HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI MAROKO

Saat kedatangan Islam, orang Yahudi Maroko tidak menganggapnya sebagai penjajah. Mereka justru senang karena telah membebaskannya dari penjajahan imperium Romawi. Mereka hidup berdampingan dengan damai, aman dan sejahtera dengan orang Islam. Hal tersebut terbukti dengan masuknya mereka dalam pemerintahan, terutama hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan[4]. Bahkan ada yang menjadi dokter pribadi raja Yusuf bin Tasyfin. Pada masanya, beliau mengangkat dua dokter dari kalangan Yahudi[5].

Ada suatu cerita menarik yang beredar di kalangan orang Maroko tentang hubungan  raja Ali bin Yusuf (1083-1143M) dinasti al-Murabithun dengan komunitas Yahudi. Pada masa pemerintahannya, beliau   ingin memperluas masjid dan universitas al-Qarawiyyin. Kebetulan, tanah samping masjid adalah milik seorang Yahudi. Sang Raja, dengan segala kekuasaannya tidak mau menggunakan paksaan dengan militer atau surat perintahnya. Justru beliau menawar dan mendatanginya sendiri dengan harga tanah yang melebihi standart kala itu[6]. Dari tanah ini , perluasannya bisa terealisasi yang kemudian menjadi tempat imam masjid al-Qarawiyyin sekarang.

Dalam setiap tahunnya , orang Yahudi Maroko wajib membayar Jizyah atau pajak yang harus diberikan kepada kerajaan . Akan tetapi , mereka juga tidak keberatan karena salah satu kebijakan dari raja adalah membantu membangun sinagog yang hancur[7]. Sehingga, mereka menerima bahwa pajak yang dibayarkan telah kembali lagi untuk kemaslahatan dirinya sendiri.

Selain itu, ada banyak sekali hak-hak hukum yang mereka dapatkan dari kerajaan seperti berikut :
1.      Hak keamanan dalam penjagaan rumah , harta benda dan tempat ibadahnya. Dalam artian tidak boleh ada yang mengganggu apalagi memusuhinya.
2.      Hak individual dan sosial khusus seperti jika mereka berada dalam suatu daerah yang mana mereka seorang diri atau satu keluarga , mereka berhak untuk mendirikan tempat ibadah sinagog.
3.      Hak keperdataan khusus. Mereka mempunyai kebebasan dalam menjalankan hukum yang berlaku antara mereka sesuai yang tertera dalam kitab Taurat[8]. Seperti hak marital, hak orang tua (ouderlijke macht) , hak perwalian (voogdij). Hal ini berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Quran :

وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
 ( المائدة : 43 )
            Artinya : Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman[9].

Secara konstitusi modern, keberadaan mereka tidak diakui sebagai agama resmi negara. Kerajaan Maroko telah mendeklarasikan menjadi negara yang berdaulat dengan Islam sebagai agama negara[10]. Namun, negara tetap menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, berkumpul dan kebebasan dalam hal kepercayaan kepada masyarakatnya [11]. Sehingga , hak-hak mereka para Yahudi Maroko tetap terjamin secara undang-undang.

            Dalam perkembangannya, Yahudi Maroko mengalami pasang surut dalam demografinya. Pada tahun 1947 M data kependudukan  mencatat penduduk Yahudi Maroko ada sekitar 204.000 jiwa [12]. Kemudian setelah ada ajakan untuk kembali ke tanah Palestina mereka berangsur-angsur hijrah kembali ke “Tanah yang dijanjikan” . Hal tersebut berkat dukungan materi dari penjajah Prancis untuk kembali ke Jerussalem [13]. Secara pelan tapi pasti, mereka mulai meninggalkan Maroko secara berangsur-angsur.

Akan tetapi setelah Maroko merdeka dari penjajahan, raja Muhammad V mencegah mereka hijrah kembali ke palestina. Dengan mengatakan pada pidato resmi kerajaan pertama bahwa “Yahudi Maroko mendapatkan kewajiban dan hak yang sama seperti penduduk Maroko lainnya” [14]. Selain itu beliau juga mengangkat Léon Benzaken ( seorang Yahudi ) menjadi menteri kerajaan[15]. Langkah ini terbukti dapat membawa hasil , sehingga terjadilah perjanjian “ pemberhentian hijrah “ antara pihak pertama Amerika, Prancis, dan Israel dan pihak kedua kerajaan Maroko pada tahun 1961 M[16].

            Selain Léon Benzaken , ada nama Serge Berdugo ( menteri pariwisata 1993-1996 M ), Simon Levy ( politisi partai Al-Ittihad Al-Dusturi ) dan André Azoulay ( penasehat kerajaan 1990 M - sekarang ). Disinilah yang menarik, secara konstitusi Kerajaan Maroko memberikan gelar kepada rajanya Muhammad VI dengan Amirul Mukminin Wa Hami Hima Al-Millah wa Al-din[17]. Akan tetapi justru mempunyai Musytasyar atau penasehat dari kalangan minoritas Yahudi.

            Dalam hal ini, saya kira moderasi yang dikembangkan oleh raja Maroko bukan lagi sekedar memaknai ajaran yang terkandung dalam kitab suci. Namun , sudah pada tahap aktualisasi nilai-nilai moderasi yaitu kolaborasi bersama dengan pemeluk agama lain dalam rangka menghubungkan antara unsur yang berbeda sekaligus mencari titik temunya. Baik dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Tujuannya apa ? demi menjawab tantangan dunia dengan cara baru sekaligus jawaban baru dalam mengatasi berbagai permasalahan bersama baik yang terjadi sekarang maupun yang akan datang.


DIPLOMASI KEAGAMAAN MAROKO

            Salah satu permasalahan bersama yang dialami dunia Islam sekarang adalah radikalisme dan terorisme yang mengatas-namakan agama. Maroko, pernah mengalami serangan teror terbesar dalam sejarahnya. Serangan bunuh diri dari kelompok “Salafi Jihadi” terjadi pada tahun 2003 di Casablanca. Ada sekitar 41 orang tewas terbunuh dan 100 orang lainnya mengalami luka-luka [18].

Selain itu, pelaku-pelaku teroris yang melakukan aksinya di benua Afrika dan Eropa kebanyakan juga berasal dari Maroko. Apalagi tercatat ada sekitar 2000-an orang Maroko bergabung ke dalam ISIS. Hal ini membuat Mbarka Bouaida ( menteri luar negeri Maroko ) mengeluarkan sebuah kebijakan. Yaitu dengan sebuah pernyataan bahwa negaranya akan memulai merestrukturisasi dengan meluncurkan program “ Ta’hil Al-Haql Al-Dini “. Sebuah program deradekalisasi agama yang membawa visi-misi untuk mengurangi radikalisme dan terorisme dunia. Pembaharuan dalam ruang religius ini dimulai dengan  mengatur ulang semua anggota dewan Majlis Ilmi A’la , merevisi kurikulum pendidikan madrasah, membuat channel tv nasional tentang keagamaan bernama “ Assadisa “ dan mendirikan Institut pelatihan Imam-imam[19].

            Khusus untuk Institut pelatihan para imam mempunyai sebuah tujuan  yang mulia. Yaitu untuk menyebarkan paham Islam moderat ke wilayah-wilayah Afrika sekaligus sebagai bentuk memerangi terorisme. Raja Muhammad VI meresmikan Institut ini dengan nama “Ma’had Muhammad Al-Sadis Li Takwin Al-Aimmah Wa Al-Mursyidin wa Al-Mursyidaat “ pada 27 Maret 2015 di Rabat[20].

Lembaga pelatihan imam ini tidak hanya dikhususkan kepada para Imam penduduk asli Maroko, tapi meluas dengan tambahan delegasi para imam dari berbagai negara. Seperti dari kawasan Afrika barat, Eropa bahkan Cina. Harapannya, dengan bergabungnya para imam dari berbagai negara ini nantinya bisa membawa nilai-nilai Islam moderat yang digunakan Maroko. Untuk diajarkan kembali ketika balik ke negara asalnya[21].

Tercatat pertama kali delegasi imam selain Maroko adalah dari negara Mali. Saat itu, presiden Mali yang meminta secara khusus kepada raja Muhammad VI untuk mendidik para imamnya belajar mazhab Maliki. Setelah berhasil, banyak sekali permintaan dari negara tetangga untuk mengikuti pelatihan imam ini seperti Tunisia, Pantai Gading, Prancis, Senegal dan lain-lain[22].

Durasi pembelajaran yang wajib diikuti oleh para Imam tersebut juga berbeda-beda tergantung darimana mereka berasal. Untuk orang Maroko masa belajarnya satu tahun, negara-negara afrika selama dua tahun, dan dari prancis selama tiga tahun. Perbedaan ini dengan harapan bahwa tahun ketiga untuk kursus belajar bahasa arab saja. Sehingga , mereka pulang sudah mahir berbicara dan membaca kitab yang berbahasa arab [23].

Langkah kebijakan untuk membangun Institut ini terbilang berani, sebab biaya pembangunan lembaga pelatihan mencapai 20 juta dolar dengan berbanding GDP Maroko tahun 2015 yang hanya 101,08 juta dollar USD[24]. Namun, hal itu juga terbayarkan mengingat tujuan daripada institut ini adalah demi menjunjung nilai-nilai Islam moderat. Disisi lain berfungsi juga untuk mengkaunter penyebaran nilai-nilai Islam wahabi [25]. Sebuah wacana Islam yang menjadi salah satu inspirasi para kelompok-kelompok ekstremis di kawasan Timur Tengah.

            Selain menyebarkan pandangan Islam moderat dan perdamaian, pendirian Institut mohammad VI ini juga bertujuan sebagai berikut :

1.      Memberikan kesempatan para akademisi Maroko untuk masuk dalam penerimaan Imam, Khatib dan Penceramah yang moderat dalam rangka melindungi Maroko dari radikalisme.

Maroko , merupakan kerajaan yang mempunyai kebijakan khusus mengenai posisi imam,  khatib dan penceramah. Tidak semua orang hanya berbekal ketenaran, kemasyhuran dalam masyarakat atau viewers youtube bisa langsung memberikan pengetahuan agama di depan umum. Semuanya harus melalui standarisasi yang ditetapkan oleh kerajaan seperti harus hafal Al-Quran,  Hadits dll. Proses standarisasi tersebut melalui penerimaan pegawai negara. Sehingga bisa dipastikan semua Imam, khatib dan penceramah digaji kerajaan.

2.      Menjaga keberlangsungan Islam Sunni madzhab Maliki menghadapi penyebaran Islam Wahabi di dunia[26].
3.      Membiasakan untuk melestarikan identitas spiritual yang menghargai perbedaan,  keterbukaan dan toleransi dalam beragama dalam masyarakat[27].
4.      Menambahkan keterampilan tambahan seperti ilmu menjahit,ilmu listrik, komputer dan ilmu mengajar. Sehingga dengan keterampilang tambahan ini diharapkan bisa untuk menularkan keilmuannya dan mencetak imam-imam baru di negaranya.
5.      Menurut Dr. Muhammad al- Az’ar  (Direktur Institut pelatihan imam) peran dari institut ini adalah untuk memberikan pemahaman yang utuh. Terutama yang berkaitan tentang penafsiran yang sering digunakan oleh para teroris untuk membenarkan konsep-konsep yang mereka. Seperti bai’at, syura (demokrasi) , salafi , dan jihad yang mana konsep tersebut telah banyak disalahfahami.

Demi mencapai tujuan diatas, Institut pelatihan imam ini juga memiliki cara yang dijabarkan dalam “Dzahir Syarif” atau ketetapan raja No. 1-14-103 ( 20 Rajab 1435 / 20 Mei 2014) yang berbunyi :
1.      Pelatihan dasar ke-Imam-an bagi para imam, penceramah laki-laki dan perempuan dalam rangka mempersiapkan mereka untuk siap dengan beban yang akan diterima.
3.      Pelaksanaan kursus lanjutan sesuai spesialisasi para imam.
4.      Pelaksanaan seminar, konferensi, dan kursus-kursus untuk meningkatkan mutu keahlian dan keterampilan para imam, penceramah laki-laki dan perempuan.
5.      Pengembangan penelitian yang bertujuan untuk menambah wawasan yang tepat sasaran bagi para imam , penceramah laki-laki dan perempuan.
6.      Membangun hubungan kemitraan dan kerjasama dengan yayasan, lembaga, badan nasional dan Internasional yang mempunyai tujuan bersama.
7.      Pemaparan konsultasi dalam bidang yang menjadi keahlian ,sesuai permintaan pertanyaan.
8.      Publikasi hasil studi dan riset yang sesuai dengan bidang yang diminati imam[28].

Dari delapan penjabaran diatas, dua diantaranya merupakan kerangka diplomasi keagamaan yang dilakukan oleh Maroko ke kawasan Afrika barat secara khusus atau dunia secara umum melalui pendirian “Ma’had Muhammad Al-Sadis Li Takwin Al-Aimmah Wa Al-Mursyidin wa Al-Mursyidaat “. Dua misi tersebut adalah : pertama dengan melatih, mempersiapkan, dan menyempurnakan nilai-nilai agama moderat dengan pendidikan berkelanjutan bagi delegasi asing. Dan yang kedua, membangun hubungan kemitraan dan kerjasama dengan yayasan, lembaga, badan nasional dan Internasional yang mempunyai tujuan bersama[29].

KESIMPULAN

Berangkat dari beberapa pernyataan diatas, setidaknya Maroko ingin memulai penyebaran nilai Islam moderat dengan argumen bahwa memahami umat agama lain sebagai makhluk Tuhan yang harus dilindungi. Keragaman adalah sunnatullah. Dalam aturan hukum fiqh klasik juga menyebut bahwa orang Yahudi yang berada dalam kekuasaan muslim sebagai Ahl al-dzimmah, yaitu warga negara yang wajib dilindungi.

Hal ini sejalan dengan pandangan Al-Quran, bahwa keragaman adalah fakta yang tidak bisa terhindarkan, karena itu tidak ada pilihan lain kecuali “ menghargai” dan melindungi”. Bahkan, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyebutkan, “ Barang siapa yang menyakiti ahl Al-dzimmah ( nonmuslim) , maka sesungguhnya ia telah menyakiti saya”. Di Madinah, rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa Yahudi sebagai satu ummat dengan orang-orang muslim ( ummatun wahidah )[30].

Kedua, kalangan muslim moderat harus selalu menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan mengutamakan perdamaian[31]. Sebab, kalau orang muslim ingin memulai membaca Al-Quran, pertama-pertama akan dibaca adalah Bismillahirrahmanirrahim ( Dengan menyebut Allah tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).  Ini artinya, Islam adalah agama kasih sayang dan jauh dari ajaran kekerasan.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim riwayat Hafs
Abdul Fattah ,Said. Buhuts wa Dirosaat fi Tarikh Al-‘Ushur Al-Wustha , Universitas Beirut, 1977
Abdul Hakim , Abou Al-Louz. Les nouvelles orientations de la politique religieuse au Maroc Jurnal Insaniyyat 31 , 2016
Abdul Mun’im ,Hamid. Al-Tarikh Al-Siyasi wa Al’Hadhari li Al-Magrib wa Al-Andalus fi ‘Asri Al-Murabithin , Cairo : Dar Al-Ma’rifah , 1997
Al-Marrakusyi ,Abdul Wahid. Watsaiq Al-Murabithin wa Al-Muwahhidin , Cairo : Maktabah Al-Tsaqafah Al-Diniyyah , 1997
Bin Thahir, Abdullah. Mudawwanah Al-Usrah fi Itar Al-Mazhab Al-Maliki, Aljadidah : Percetakan Al-Najah cet 2, 2014
Bouaziz, Karima. Daur Al-Yahud di Al- Nasyath Al-Iqtishadi fi Al-Magrib Al-Islami, Guelma : Thesis Universitas 08 Mei 1945 , 2018
Cazes-Bénatar, Hélène. The American Jewish Year Book  American Jewish Committee; Springer Vol. 56 1955
Cédric Baylocq , Aziz Hlaoua. Les nouvelles ambitions de la diplomatie religieuse africaine du Maroc, Afrique contemporaine 2016 (n° 257)
Masyru’ Naja’at Al-ada ( Proyek Efisiensi Kerja) , Kementerian Wakaf Kerajaan Maroko 2019
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan, Penerbit Kompas 2011 ,Hal 326
Sehhat Haikal ,Ahmad. Yahud Al-Magrib ; Tarikhuhum wa ‘Alaqatuhum bi Al-Harakah Al-Shahyuniah , Cairo :Markaz Al-Dirasat Al-Syarqiah , 2007
Udzari ,Ibnu. Al-Bayan Mughrib fi Ikhtishari Akhbari Muluk Al-Andalus wa Al-Maghrib , Beirut : Dar Tsaqafah 1983
Undang-Undang Dasar Kerajaan Maroko, Cetakan 2011
https://www.albayan.ae/one-world/2003-05-18-1.1244183
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?end=2018&locations=MA&start=2009
https://www.diwanalarab.com/spip.php?page=article&id_article=5702
https://www.hespress.com/societe/259237.html
https://www.hespress.com/societe/354158.html
https://www.maghress.com/almassae/7564

















LAMPIRAN-LAMPIRAN
Keterangan : Kunjungan KH. Mukhlis Hanafi dan Ulama Dunia ke Institut Pelatihan Imam – Rabat

Keterangan : Diskusi Penulis ketika mengantar rombongan POSFI KEMENAG RI 2016 ke Institut Pelatihan Imam
Keterangan : Penulis dan dosen POSFI foto bersama didepan Institut Pelatihan Imam



[1] Ahmad Sehhat Haikal , Yahud Al-Magrib ; Tarikhuhum wa ‘Alaqatuhum bi Al-Harakah Al-Shahyuniah , (Cairo : Markaz Al-Dirasat Al-Syarqiah , 2007 ), Hal 12
[2] Ibid, Hal. 12
[3] Ibnu ‘Udzari , Al-Bayan Mughrib fi Ikhtishari Akhbari Muluk Al-Andalus wa Al-Maghrib , (Beirut : Dar Tsaqafah, 1983) Juz 2 Hal. 26-29
[4] Said Abdul Fattah , ‘Asyur, Buhuts wa Dirosaat fi Tarikh Al-‘Ushur Al-Wustha ( Beirut : Universitas Beirut, 1977 ), Hal. 90
[5] Abdul Wahid Al-Marrakusyi , Watsaiq Al-Murabithin wa Al-Muwahhidin (Cairo : Maktabah Al-Tsaqafah Al-Diniyyah  , 1997 ) Hal 25-38
[6] Hamdi Abdul Mun’im , Al-Tarikh Al-Siyasi wa Al’Hadhari li Al-Magrib wa Al-Andalus fi ‘Asri Al-Murabithin ,( Cairo : Dar Al-Ma’rifah , 1997 ) Hal. 338
[7] Karima Bouaziz, Daur Al-Yahud di Al- Nasyath Al-Iqtishadi fi Al-Magrib Al-Islami, (Guelma – Aljazair : Thesis Universitas 08 Mei 1945 , 2018 ) , Hal. 10
[8] Abdullah bin Thahir, Mudawwanah Al-Usrah fi Itar Al-Mazhab Al-Maliki,( Aljadidah : Percetakan Al-Najah 2014 ) cet 2, Hal. 28
[9] QS Al-Maidah ayat 43
[10] Undang-Undang Dasar Kerajaan Maroko, Cetakan 2011, Hal. 2
[11] Pasal 3 UUD Kerajaan Maroko.
[12] Hélène Cazes-Bénatar, The American Jewish Year Book (1955 : American Jewish Committee; Springer Vol. 56 ), Hal 446
[13] Ibid.,
[14] Lihat https://www.maghress.com/almassae/7564 ( Diakses tanggal 17 Februari 2019 )
[15] Ibid.,
[17] Kepala negara orang Islam serta pelindung berbagai kepercayaan dan agama, selengkapnya lihat Pasal 41 UUD Kerajaan Maroko.
[19] Abdul Hakim Abou Al-Louz, Les nouvelles orientations de la politique religieuse au Maroc , (2016 : Jurnal Insaniyyat 31 ),Hal 1-2 Selengkapnya Lihat https://journals.openedition.org/insaniyat/9766.  Diakses 18 Februari 2019 )
[20] Lihat https://www.hespress.com/societe/259237.html ( Diakses tanggal 21 Februari 2020 )
[21] Cédric Baylocq and Aziz Hlaoua, Les nouvelles ambitions de la diplomatie religieuse africaine du Maroc, (2016 : Afrique contemporaine n° 257 ), Hal. 113
[22] Lihat https://www.hespress.com/societe/354158.html ( Diakses pada tanggal 18 Februari 2020 )
[23] Ibid.,
[25] Cédric Baylocq and Aziz Hlaoua, Les nouvelles ambitions de la diplomatie religieuse africaine du Maroc, (2016 : Afrique contemporaine n° 257), Hal. 113
[26] Ibid., Hal 114
[27] Masyru’ Naja’at Al-ada ( Proyek Efisiensi Kerja) , Kementerian Wakaf Kerajaan Maroko 2019, Selengkapnya lihat http://lof.finances.gov.ma/sites/default/files/pdp_habous_et_affaires_Islamiques_ar.pdf ( Diakses tanggal 18 Februari 2019 )
[28] Ibid., Hal. 64
[29] Ibid.,
[30] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan, Penerbit Kompas 2011 ,Hal 326
[31] Ibid., Hal 327

Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment