Labels

Monday 16 June 2014

Perbedaan ber-agama antara Maroko dan Indonesia


Ber-agama atau memeluk agama merupakan suatu hal yang fitroh bagi diri manusia. Fitroh disini saya artikan dengan sifat bawaan sejak mereka lahir. Bagaimana tidak,secara akal sehat manusia di dunia ini tidak akan bisa menciptakan dirinya sendiri. Alias tidak akan lepas kendali dari apa yang dinamakan pencipta. Dan pencipta tersebutlah manusia itu ada. Maka dari itu ,sangat munafik memang bila masih saja sekelompok manusia didunia ini yang masih berkeyakinan bahwa diatas sana atau dimana saja tidak ada pencipta sang maha Kuasa.


Mengenai beragama , di Indonesia ada banyak agama yang di peluk oleh masyarakatnya. Taruhlah disana ada Islam, Kristen, Budha, Protestan dan Konghucu. Islam adalah agama yang paling besar dipeluk oleh masyarakat indonesia. Tercatat sekitar 90% dari penduduknya beragama islam. Walaupun besar umat islam di negeri ini, saya tidak bisa menjamin bagi anda untuk tidak sepi dengan apa yang namanya kejahatan.
Saya tidak tahu kenapa di negara yang notabene beragama islam terbesar di dunia ini selalu saja ditimpa berita kejahatan. Mulai dari kejahatan mencuri,memperkosa,merampok, sampai korupsi milyaran juta rupiah semuanya ada di negera ini. Anehnya, berita ini tidak perminggu satu buah berita, malahan tiap hari atau perjam pasti ada saja yang berbau kejahatan di Indonesiaku ini. Kalau anda masih tidak percaya, tengoklah situs detik.com atau channel metrotv Indonesia pasti anda akan menemukan apa yang saya omongkan sekarang ini.



Bagi orang agamis mereka akan beranggapan bahwa ini adalah tanda-tanda kiamat semakin dekat. Tapi bagi orang yang nasionalis bahwa ini ini sebuah percobaan bagi negara yang baru dalam membangun demokrasi karena tiap kebebasan itu pasti punya konsekuensi . Dan juga tak ketinggalan , mereka yang atheis ( tidak mengakui tuhan) mengatakan ini bukti bahwa diatas manusia itu tidak ada lagi, kalaupun toh ada pasti tuhan tidak akan tinggal diam dan akan menurunkan adzab siksaannya demi taubatnya manusia bawahannya.
Memang sepertinya ada yang salah dengan ber-agama dalam republik ini. Namun salah itu dimana sejauh yang saya pandang serasa kesalahan itu tidak ada. Sebagai misal orang islam di Indonesia, mereka mempunyai suatu kebiasaan tak kalah menarik dan ramai pengikutnya.

Pengajian-pengajian mulai yang musiman seperti Maulid Nabi atau Isro’ Mi’roj , tak kurang dari ribuan orang berbondong-bondong menghadirinya. Sudah barang tentu mereka mendengarkan Mauidhoh Hasanah dari pendakwah di pengajian itu. Tapi bagaimana setelah mereka sepulang dari pengajian? Apa yang mereka amalkan di rumah? Hampir sama sekali belum kelihatan apa pengamalan ibadahnya. Masjid masih terlihat kosong-plong saat sholat lima waktu , kemana saja suara yang mereka dengar dengan ayo sholat berjama’ah dari habib,kyai?. Surau masih saja hanya segelintir anak-anak yang mau mengaji,kemana juga suara “didiklah anakmu dengan agama”?. Malahan masih saja ada dari mereka yang boncengan cewek-cowok sepulang dari pengajian. Ironis? Bukan,tapi itu kenyataan.


Ada lagi yang kedua yaitu acara kedaerahan yang berupa menyambut bulan Ramadhan atau Idhul Fitri. Sebagai misal didaerah saya ada “Dandangan”, Di Semarang “Dugderan” atau didaerah lain yang serupa tapi dengan kemasan yang berbeda. Dandangan atau yang saya sebut dengan acara penyambutan bulan Ramadhan di daerah Kudus merupakan acara yang sangat meriah, dan bisa dibilang merupakan semarak. Tidak ada acara apapun di Dandangan ini, yang ada cuma orang berdagang dari Alun-alun Kudus sampai akhir Jl. Sunan Kudus. Dagangannya pun bermacam-macam, mulai dari mainan anak kecil sampai pakaian dan peralatan ibu rumah tangga. Yang saya tangkap dari acara yang dimulai 15 Ruwah (Syaban)—29 Ruwah ini belum ada esensi yang pasti kecuali para pedagang itu mengambil untung dari pembeli. Yang lain misalnya membahagiakan anak kecil dengan di belikan mainan kuanggap suatu yang biasa. Malahan saya menangkap disini banyak kekurangan daripada kelebihan yang ada. Banyak cewek –cowok bergandengan satu sama lain, senggolan, jalan menuju Sunan Kudus menjadi macet dll.


Saya bukan penentang tradisi masa lalu, tapi alangkah baiknya bila tradisi ini dikembalikan seperti semula. Suatu hal yang mustahil bila Sunan Kudus mengadakan tradisi menyambut bulan Ramadhan ini dengan acara semua orang tumplek-blek dimalam hari di Dandangan ini. Dan saya mengira juga , tidak mungkin Sunan Kudus mengunggulkan acara sunnah (menyambut bulan suci) dengan acara yang Haram (campur-baurnya pemuda dan pemudi). 


Dari sinilah saya ingin mengkomparasikan antara dua negara yang kucintai. Negara Indonesia yaitu negara tempat aku lahir, dan negara Maroko tempat aku sekarang mencari ilmu agama. Maroko , sebuah nama yang mungkin tidak asing bagi pembaca. Negara yang mana terletak di ujung utara Afrika ini sebenarnya menyimpan suatu keunikan sendiri dalam beragama. Keunikan berupa tidak adanya pengajian akbar yang bisa menyebabkan ke-cuek-an satu sama lain dalam menjalankan ibadah. Terutama didalam menjalankan sholat berjamaah lima waktu.


Sangat jarang memang sebuah acara-acara pengajian akbar yang dihadiri ribuan orang dalam suatu majlis di Negeri Maroko ini. Bahkan kalau saya boleh bilang,acara seperti itu tidak ada. Kalaupun itu ada pasti berupa talaqqi (ngaji kitab satu syech ternama) di Masjid yang terkenal. Kalau tidak begitu , kamu harus ke Pondok Pesantren (Madrasah Atiqoh) yang tersebar di seluruh pinggiran kota. 


Karena sepengalaman saya waktu pertama kali datang di Maroko ini, saya agak tercengang dengan metode “diam” ini. Saya mencari-cari acara yang benar-benar besar untuk sebuah Maulid Nabi itu tidak ada. Malahan saya harus ke Madrasah Atiqoh di Agadir yang jaraknya sekitar 300KM dari ibukota Rabat. Dan itupun hanya tertutup untuk santri pondok tersebut. Masyarakat hanya menyumbang makanan ,uang dll.
Tidak ada acara yang aneh dalam acara ini. Semua hampir sama dengan Maulid di Indonesia cuma bedanya disini sedikit yang hadir,dan Kyainya dalam berpidato serius+monoton. Sepertinya yang saya lihat semua acara di Negeri Arab sini acara seperti Seminar, Pengajian, kebanyakan pematerinya itu tidak ada yang menertawakan dan bikin tertawa. Aneh sekali memang, tapi ini juga berpedoman dengan hadits Rasulullah yang kurang lebih maknanya adalah sedikitnya tertawa, supaya hatimu tidak keras. Karena kerasnya hatimu akan menyebabkan sulitnya masuk ilmu tersebut.


Mungkin dari itu jugalah saya melihat orang arab sini banyak yang langsung mengamalkan apa yang diajarkan Syechnya tanpa langsung memikir panjang alias ilmu agama tersebut langsung masuk didalam hati. Hampir semua masjid yang saya temukan dan saya ikut berjamaah tak kurang 5 shof jejer pasti penuh. Malahan di tempat saya yang baru, di Masjid AlUmroh Hay Alchoir Rabat saya sangatlah sulit untuk sholat di baris terdepan kecuali jika saya memang 30menit sebelum adzan sudah stand by di Masjid.


Ada juga cerita dari Senior saya yang sudah doktor dan menetap lama di Maroko ini. Beliau bercerita bahwa dia waktu sholat berjamaah di masjid depan rumahnya mendapati orang yang mabuk di halaman masjid. Orang mabuk ini sering menggangu orang sekitarnya, baik itu anak-anak ataupun orang dewasa. Tapi walaupun begitu juga , orang mabuk ini kalau sadar dia sering juga ke Masjid. Kejadian ini pun berlangsung sampai berbulan-bulan. Maka pada suatu ketika Senior saya ini ngobrol kepada penjual toko depan masjid, “kenapa kamu tidak melarangnya meminum khomr?padahal misalnya kalau kamu bilang kedia untuk tidak minum lagi kan lebih baik, dia akan sering ke masjid ”. Terus apa dibilang sama penjualnya “ terserah dia , itu hidup dia, dia sudah dewasa baligh dan bisa memikirkan apa yang akan dirasakannya di Akhirat nanti” .
Seakan kedewasaan itu bisa membuat orang cuek dan terserah kamu. Ibarat orang muda bilang “DLML” derita loe masalah loe. Dalam fikiran saya, orang semakin dewasa itu semakin acuh tak acuh terhadap keadaan. Bagaimana tidak? Kalau ada orang berpacaran misalnya di depan kita, kita tahu bahwa itu dosa, tapi dalam hati kita yang katanya “dewasa” bilang, dia sudah tahu mana yang baik buat dirinya,mana yang buruk .


Padahal kalau kita mengaca di Indonesia , pasti disana ada hukum sosial di masyarakat. Apa-apaan itu orang kog mabuk di emperan Masjid?Pacarannya saja sudah terang-terangan begitu,apalagi entar kalau dia di dalam tempat sepi? Zina kan pasti. Dan banyak lagi sifat su’udhon yang akan datang dari Masyarakat.
Sebenarnya kedewasaan masyarakat dua negara ini sangat berbeda, satu sisi dari maroko ada baiknya berupa kita tidak berprasangka buruk kepada orang lain, mau hidup kamu maksiat seumur hidup toh tidak akan berpengaruh dan itu akan kamu tanggung sendiri nanti di akhirat . Tapi disisi lain maroko tidak amar maruf,walaupun memang amar maruf disini yang di marufi sudah baligh. 



Yang kedua ,orang Indonesia itu punya sisi jelek berupa hukum sosial yang mencela orang mabuk tersebut,tapi sekali lagi, itu berasal dari ngomong dibelakang layar alias tidak berani bilang ke orangnya secara langsung. Dan ini mendidik untuk menambah dosa karena terlalu sering berbicara dibelakang layar. Kebaikan ke”dewasa”an orang Indonesia adalah amar maruf yang melalui lisan, walaupun lisan disini mereka dibelakang layar .

Maka dari sini saya bisa mengambil kesimpulan bahwasanya amar maruf nahi mungkar berupa melarang maksiat itu juga sangat diperlukan di dunia ke-islam-an kita, tapi juga harus berani dan tegas. Dan yang kedua yang tak kurang pentingnya adalah jangan sampai kita suka berprasangka buruk dibelakang layar , walaupun itu benar . 


Dan nampaknya keber-agama-an kita lebih senang di level semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial berupa shalat lima waktu secara berjamaah.

Rabat 16-06-2014
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment